Selasa, 23 Februari 2010

Kesejahterahan Sosial Di pelihara Oleh Negara Dan Dilindungi UUD 1945

KESEJAHTERAAN SOSIAL


Di Indonesia, Kemiskinan merupakan masalah strategis yang dihadapi bangsa kita selama

bertahun-tahun.

nasib hidup rakyat dan perlu kebijakan konkret dalam penanganan.

Rentetan bencana mengguncang tanah air kita dalam dua tahun terakhir. Mulai

gempa dan gelombang tsunami di Aceh, gempa tektonik Jogjakarta - Jateng dan

musibah banjir di beberapa daerah. Ibu Pertiwi kembali menangis atas musibah

gempa tektonik dan tsunami di wilayah pantai selatan Pulau Jawa, Senin 17 Juli

2006.

Gempa yang disusul gelombang pasang itu mengakibatkan sedikitnya 500 orang

tewas, ratusan lainnya hilang dan ribuan warga di sejumlah wilayah pesisir

mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Pemerintah berusaha membantu meringankan korban bencana melalui kegiatan

pembangunan seperti pembenahan sarana infrastruktur, relokasi korban gempa,

pembangunan jalan, jembatan, irigasi pertanian dan pembangunan sarana umum

penting lainnya. Di samping upaya pemulihan fisik pembangunan, pemerintah

bersama lembaga sosial dan masyarakat membantu trapi psikologis bagi korban

bencana terutama usia anak.

Konsekuensi logis dari musibah alam yang menimpa republik ini tidak hanya

menjadi beban pemerintah dan masyarakat korban gempa, lebih dari itu adalah

meningkatnya jumlah penduduk miskin. Saat ini mungkin belum ada penelitian

khusus dari lembaga sosial maupun pemerintah tentang peningkatan jumlah

penduduk miskin pascagempa, atau musibah alam yang terjadi.

Survai Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2003 tentang

prakiraan penduduk miskin Indonesia sampai Nopember 2005, mencatat jumlah

penduduk miskin mencapai 54,8 juta jiwa atau 25 persen dari jumlah penduduk

219.204.700 jiwa. Angka ini cukup memiriskan di saat negara kita masih dilanda

krisis ekonomi dan memiliki utang luar negeri yang cukup tinggi.

Terima kasih dan penghargaan patut kita sampaikan kepada pemerintah, akademisi,

lembaga profesi dan sosial yang selama ini besar perhatiannya terhadap upaya

mengurangi kemiskinan. Bagi pemerintah sendiri, upaya mengurangi penduduk

miskin secara terpadu dan giat dimulai 1994 melalui program Inpres Desa

Tertinggal (IDT). Kemudian pada 1995/1996 dilanjutkan dengan Jaring Pengaman

Sosial Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi (JPS PMDKE).

Sebagai tindak lanjut dari kedua program tersebut, pemerintah memberikan

bantuan bagi keluarga miskin melalui operasi pasar khusus (OPK) beras dengan

pola penyaluran di tingkat kelurahan. Kebijakan penjualan beras bersubsidi

berlanjut sampai sekarang dengan nama baru, yakni beras untuk keluarga miskin

(raskin).

Kendati dalam perjalanannya program sosial ini banyak ditemukan masalah, mulai

dari salah sasaran, pinjaman yang tidak dikembalikan, pemotongan nilai pinjaman

oleh oknum pengelola, namun secara umum mampu menghidupkan kembali usaha kecil masyarakat yang sebelumnya sempat terhenti karena kekurangan modal atau merugi.

Solusi Penanganan

UUD 1945 pasal 34 ayat 1 mengamanatkan, fakir miskin dan anak terlantar

dipelihara oleh negara. Pengertian dipelihara negara dalam penjelasan UUD sama

dengan tanggungjawab negara melindungi dan memelihara fakir miskin dan anak

telantar. Berpijak dari hukum dasar negara tersebut adalah kewajiban pemerintah

mencari strategi efektif penanganan kemiskinan.

Kemiskinan merupakan masalah strategis dihadapi bangsa ini, karena menyangkut

nasib hidup rakyat dan perlu kebijakan konkret dalam penanganan. Agar

penanganan kemiskinan terarah dan berkelanjutan hingga menjadi tanggungjawab

seluruh warga negara, saatnya republik tercinta ini memiliki Undang Undang

Penanganan Kemiskinan. UU ini bisa memuat pokok dasar penanganan kemiskinan,

penangulangan bencana alam, tatacara penggalangan bantuan dan penyaluran

bantuan bagi korban bencana.

Sebagai tindak lanjut UU ini, pemerintah bisa membuat Peraturan Pemerintah (PP)

tentang Penanganan Kemiskinan sebagai peraturan pelaksana UU. Bila UU dan PP

penanganan kemiskinan sudah dimiliki, langkah selanjutnya departemen terkait

bisa merancang standarisasi pedoman penanganan kemiskinan nasional. Di tingkat

daerah, gubernur, bupati dan walikota menindaklanjuti dengan membuat peraturan

daerah (perda) tentang penanganan kemiskinan sesuai kondisi daerah

masing-masing dengan mengacu standarisasi pusat.

Setelah penetapan standarisasi penanganan kemiskinan nasional, upaya

pengentasan kemiskinan dari pemerintah akan lebih efektif. Sebab, negara sudah

memiliki pedoman baku dalam penanganan kemiskinan nasional. Masalah manajemen penanganan kemiskinan, seperti tumpang tindih penanganan, salah sasaran dalam pemberian bantuan dan masalah pengawasan departemen dan instansi yang menangani bisa dihindari. Sebab, masing-masing departemen dan instansi teknis telah memiliki acuan dasarnya.

Solusi mikro penanganan kemiskinan di tingkat daerah, pemerintah provinsi,

kabupaten dan kota bisa membentuk lembaga semacam dinas, tetapi bukan dinas

sosial. Dinas ini khusus menangani kemiskinan dan bantuan terhadap korban

bencana alam. Keberadaan dinas ini sangat penting, sebab selama ini penanganan

kemiskinan di tingkat daerah terkesan tumpang tindih. Hal ini berdampak

terhadap keterlambatan pemerintah dalam melakukan penanganan dan pemberian

bantuan bagi korban bencana.

Di akhir tulisan ini penulis menyarankan, pemerintah perlu mengevaluasi

kebijakan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan. Sebab, program sosial ini kurang mendidik masyarakat untuk berusaha hidup mandiri,

di samping dalam pelaksanaanya ditemukan beragam masalah. Program BLT bisa diganti dengan kegiatan lain yang bersifat lebih mikro. Dengan cara menghidupkan kembali program padat karya di bidang pendidikan, pekerjaan umum dan kesehatan.

Peran media massa menyajikan berita kemiskinan dengan peliputan terencana dan

berkelanjutan, disertai solusi penanganan sangat diharapkan sebagai wujud

tanggungjawab sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar